Tentang Lalu



"braaaakkkkkk"


Tiba-tiba si moni jatuh dari tempat tidurku dengan modem yang ikut berantakan. Moni adalah laptop abal-abalku yang luar biasa, hadiah dari Bapa di hari ulang tahunku beberapa tahun yang lalu. Aku baru saja keluar kamar mandi, masih mengenakan handuk yang agak basah di kepalaku yang tentu dengan rambut yang basah. Aku terkaget-kaget saat tiba-tiba Mama melontarkan kalimat dengan nama yang tidak asing di telingaku. AKu tidak tahu persis apa yang Mama tonton di salah satu station TV swasta sore hari kemarin, hanya saja itu adalah acara yang dia ceritakan padaku via sms-mantanku. Ya, hari kemarin sempat aku menerima sms yang isinya permohonan ma'af dan info tentang acara itu. AKu tidak begitu memperdulikan, aku hanya membacanya dan langsung menghapusnya. Ini bukan tentang nama acaranya dan konten acaranya, tapi tentang orang dan pendiriannya. Sebuah cerita yang menarik perhatian ketika sebuah keluarga yang terdiri dari beberapa anggota keluarga dengan agama yang berbeda. Lhooo terus apa hubungannya dengan hidupku? Kalimat mamaku?

Tiga tahun yang lalu, aku memang pernah mengenal sosok dia yang begitu menyayangiku. Tidak sampai 2 tahun kami menjalani-pacaran, harus berpisah dengan alasan perbedaan agama. Alasan yang tidak pernah secara gamblang aku ungkapkan padanya. Tentu bukan karena semata egoku yang terlalu mau untuk melakukannya. Orang tuaku tidak mengizinkan aku dengan nonis. Begitu umumnya alasan seperti itu, aku yang seorang perempuan, tidaklah diizinkan mempunyai pasangan hidup seorang nonis. Porsi berfikirku yang sederhana, menerjemahkan larangan orang tuaku seperti itu dan aku akhirnya membuat keputusan besar, memutuskan hubungan kami.

Dia, sosok yang tak ingin kusebut namanya disini, adalah sosok yang memang menyayangiku dan menyayangi keluargaku. Itu terlihat dari semua sikap-sikap bijaknya. Apapun keadaannya, semua memang sudah berlalu. Sedikit berbagi, kami saling mensyukuri semuanya.

1 Januari 2011, dia datang ke rumahku bersama seorang teman SMA-ku. Aku begitu terkejut melihat mereka ada di depan rumahku. Aku yang begitu labil tidak terlalu memperhatikan dan mengingat kejadian itu dengan baik. Setelah hari itu, aku sedikit demi sedikit menghilang dari kehidupan dia. Buku yang ditulis kakaknya masih Bapa simpan sampai hari ini, dan buku itulah yang menjadi penyambung ketika Mama membahas acara TV swasta di hari kemarin. Penulisnya adalah pengisi acara di acara itu. Masih dengan keputusanku yang bulat, aku menghindarinya sampai beberapa lama. Banyak pertanyaan yang dia berikan padaku. Kenapa aku harus meninggalkan dia ketika dia di puncak perasaannya yang paling tinggi? Aku tidak memberi jawaban apapun. Dia berjanji, dia akan menjadi muallaf kalau dia menjadi pasangan hidupku. Tapi yang aku mau bukan begitu. AKu tidak mau dijadikan alasan untun dia melakukan apapun yang dia pilih, apalagi menjadi seorang muallaf. Pilihan apapun harus berdasarkan kemauan dan kesadaran dia sendiri.

Beberapa bulan kemudian, komunikasi kami menjadi benar-benar seperlunya. Aku masih tetap menutup hati padanya. Sampai suatu hari aku dengar dia sudah menjadi muallaf. Aku bangga mendapat kabar itu. Walaupun tidak bersamaku, aku ikut bahagia. Terima kasih untuk semua do'amu untukku. Terima kasih masih selalu menyayangi dan menganggap aku ada. Tanpa lelah selalu membuka komunikasi.


Hanya bagian cerita acak-acakanku yang menjadi lucu-lucuan sekarang.

Salam. :)

0 comments:

Post a Comment

 

Followers

Links

BumiBloggerWarung Blogger